Breaking News

Enam Prinsip Ilmu Menurut Imam Syafi’i

Oleh Ustaz Thoriq Aziz, S.Pd., Lc., M.Pd.




Perantara-Nasional.Com,  – Setiap pencapaian atau keberhasilan memiliki faktor dan syarat yang mengantarkan kita ke sana. Kesuksesan dalam bidang ilmu, khususnya, tidak bisa hanya diraih dengan angan-angan, khayalan, atau sekadar impian. Ilmu adalah sesuatu yang luhur dan bernilai tinggi, sehingga membutuhkan persiapan mental, fisik, dan materiil yang memadai. Keberhasilan dalam menuntut ilmu bergantung pada sejumlah faktor yang saling melengkapi dan menyempurnakan. Faktor-faktor ini, jika benar-benar diupayakan dengan sungguh-sungguh oleh tholibun ‘ilmi, seorang pelajar, akan mengantarkannya pada puncak tujuan dan cita-cita. Tanpa syarat-syarat ini, makan seseorang akan sulit mencapai kemuliaan ilmu, yang memang memerlukan pengorbanan dan kesabaran dalam jangka waktu yang panjang.


Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (wafat 204 H), seorang ulama besar dalam dunia Islam, telah merumuskan prinsip-prinsip penting dalam menuntut ilmu melalui dua bait syairnya yang telah dikenal secara luas. Dalam bait-bait ini, beliau menegaskan adanya enam syarat yang wajib dipenuhi oleh setiap penuntut ilmu. Syairnya berbunyi,



أَخِي لَنْ تَنَالَ العِلْمَ إِلَّا بِسِتَّةٍ ... سَأُنَبِّئُكَ عَنْ تَفْصِيلِهَا بِبَيَانِ
ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَبُلغَةٌ ... وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُولُ زَمَانِ


“Saudaraku, ilmu tak akan kau raih kecuali dengan enam perkara. Akan kujelaskan dengan rinci kepadamu agar engkau tahu: kecerdasan, kesungguhan, ketekunan, bekal yang cukup, bimbingan guru, dan waktu yang panjang.”[1]


Melalui ungkapan yang sederhana namun mendalam ini, Imam Syafi’i merumuskan sebuah landasan kokoh yang harus dijalani dalam mencari ilmu.


Keenam prinsip yang disebutkan oleh Imam Syafi’i tersebut mencakup berbagai aspek esensial yang perlu dijaga oleh penuntut ilmu. Setiap prinsip ini saling berhubungan dan mendukung satu sama lain. Kecerdasan, misalnya, adalah karunia yang akan memudahkan seseorang memahami ilmu dengan cepat, namun tanpa kesungguhan, kecerdasan saja tidak akan banyak berarti. Kesungguhan dan ketekunan adalah kunci yang menjaga seorang pelajar tetap berfokus pada tujuannya, meskipun mungkin jalan yang dilalui penuh rintangan dan cobaan. Dengan begitu, faktor-faktor ini saling melengkapi untuk membentuk seorang pelajar yang bukan hanya cerdas, namun juga memiliki kekuatan dan ketahanan dalam menjalani proses belajar yang panjang dan penuh tantangan.


Kecerdasan adalah syarat pertama yang sangat penting dalam menuntut ilmu. Tanpa kecerdasan yang memadai, seorang pelajar akan sulit memahami pelajaran, terutama yang bersifat rumit dan mendalam. Namun, kecerdasan ini bukan hanya soal kemampuan otak yang cepat memahami, tetapi juga mencakup kemampuan untuk menganalisis, berpikir kritis, dan melihat suatu permasalahan dari berbagai sudut pandang. Akan tetapi, kecerdasan ini tidak akan berguna tanpa disertai dengan kesungguhan dan ketakwaan. Seorang yang cerdas tanpa ketakwaan berpotensi menyalahgunakan ilmunya untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip kebenaran. Dalam konteks inilah kecerdasan harus diiringi dengan moral dan etika yang baik agar dapat memberikan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain.


Kesungguhan dan ketekunan adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dalam proses menuntut ilmu. Kesungguhan mengajarkan pentingnya fokus dan dedikasi dalam belajar, sementara ketekunan menunjukkan pentingnya konsistensi dalam menempuh jalan ilmu, meskipun menghadapi banyak tantangan. Kedua aspek ini memerlukan kekuatan mental yang tangguh, karena tidak jarang pelajar dihadapkan pada kesulitan atau kegagalan yang bisa membuatnya patah semangat. Dalam hal ini, kesungguhan menjadi pengingat bahwa tujuan utama dalam menuntut ilmu adalah untuk meraih kedekatan dengan Allah, bukan sekadar mengejar gelar atau penghargaan dunia. Ketekunan memastikan bahwa pelajar tetap teguh pada jalurnya, meskipun harus berhadapan dengan berbagai halangan di sepanjang perjalanannya.


Dalam bait syair Imam Syafi’I ini, beliau merumuskan prinsip yang benar dalam meraih ilmu, yakni faktor-faktor yang harus dimiliki dan dilalui. Para ulama ahli menyetujui hal ini, meskipun beberapa mungkin berbeda dalam menyebutkan nama atau jumlahnya, namun sebagian besar prinsip ini hampir disepakati.


Meskipun sangat terkenal, hanya sedikit pelajar yang benar-benar mengikuti jalan ini atau menerapkan prinsip-prinsip tersebut dengan sungguh-sungguh. Mereka yang serius akan mengerahkan segala upaya untuk menerapkannya, karena ilmu adalah derajat tertinggi dan tujuan yang paling mulia, yang hanya bisa dicapai dengan kerja keras, kesabaran, dan ketabahan. Dalam sebuah hadis sahih disebutkan:


وَمَن يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ


"Barang siapa yang berusaha bersabar, Allah akan menjadikannya sabar."[2]


Keenam faktor ini adalah fondasi utama untuk meraih keberhasilan dan pencapaian ilmu. Abu Tammam at-Ta'i berkata:


بصرتَ بالراحة الكبرى فلم ترَها... تُنال إلا جسرٌ من التعبِ


“Engkau melihat kebahagiaan tertinggi, namun kau tak menyadari... Ia hanya bisa dicapai di atas jembatan kerja keras.”[3]


Pertama: Kecerdasan adalah syarat pertama yang sangat penting bagi siapa pun yang hendak menuntut ilmu. Kecerdasan tidak hanya sekadar kemampuan untuk memahami suatu hal dengan cepat, tetapi juga mencakup kemampuan untuk menganalisis, berpikir kritis, dan menyusun argumen yang kuat. Seseorang yang memiliki kecerdasan akan lebih mudah memahami berbagai ilmu pengetahuan, menghafal dengan cepat, dan menemukan hubungan antara konsep-konsep yang saling berkaitan. Kecerdasan memampukan seorang pelajar untuk menembus batas-batas pengetahuan, mempercepat proses belajarnya, serta membuatnya siap menghadapi tantangan yang lebih tinggi dalam bidang keilmuan yang ditekuninya. Tanpa kecerdasan, seorang pelajar akan lebih sering menemukan hambatan dalam proses belajar, dan bahkan mungkin merasa frustasi ketika harus mempelajari hal-hal yang rumit.


Namun, kecerdasan saja tidak cukup. Di balik kemampuan kognitif yang luar biasa, seseorang tetap membutuhkan bimbingan moral dan spiritual agar kecerdasannya tidak justru menjerumuskannya pada kesesatan. Kecerdasan yang tidak diimbangi dengan nilai-nilai kebaikan dapat menjadi pisau bermata dua yang justru membahayakan pemiliknya dan juga orang di sekitarnya. Banyak orang yang memiliki kecerdasan tinggi, tetapi kemudian gagal dalam menjaga integritasnya, sehingga malah menggunakan ilmunya untuk tujuan yang merugikan. Para ulama sering mengingatkan bahwa kecerdasan harus disertai dengan ketakwaan agar membawa manfaat. Tanpa ketakwaan, kecerdasan hanya akan menjadi alat untuk memperbesar ego dan kecintaan pada dunia, yang pada akhirnya menjauhkan seseorang dari jalan kebenaran.


Ketakwaan berperan penting dalam menjaga agar kecerdasan tetap berada pada jalurnya. Ketakwaan mengajarkan seseorang untuk selalu mempertimbangkan dampak dari setiap ilmu yang ia peroleh dan setiap keputusan yang diambil. Dengan ketakwaan, seorang yang cerdas akan menggunakan kemampuannya untuk kebaikan, berusaha menuntut ilmu yang bermanfaat, serta berhati-hati dalam setiap langkahnya. Inilah yang membedakan antara seseorang yang cerdas dan seseorang yang bijaksana. Orang cerdas yang bijaksana akan selalu menggunakan akal dan hatinya untuk mencapai ridha Allah, menghindari tindakan yang mendatangkan kerugian bagi dirinya dan orang lain. Sebaliknya, seseorang yang cerdas tetapi tidak memiliki ketakwaan akan mudah terbawa oleh hawa nafsu dan ambisi pribadi. Sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama tentang Abu al-‘Ala al-Ma’arri, “Kāna dhakīyyan walam yakun zakīyyan, Dia cerdas tetapi tidak suci,”[4] menunjukkan betapa kecerdasan yang tidak disertai ketakwaan dapat menyesatkan dan membahayakan.


Kedua: Semangat yang besar untuk menuntut ilmu adalah salah satu kunci kesuksesan bagi siapa pun yang ingin mencapai kedalaman pemahaman dan kebijaksanaan sejati. Semangat ini mendorong seseorang untuk berusaha keras mengumpulkan pengetahuan dari berbagai sumber dan memperluas wawasannya tanpa henti. Dalam semangat ini juga tercermin hasrat yang kuat untuk mengoleksi buku-buku, catatan, dan referensi penting yang akan menjadi bekal dalam perjalanan belajarnya. Memiliki semangat dalam menuntut ilmu juga berarti seseorang rela berkorban untuk meluangkan waktu demi mempelajari ilmu baru, bahkan di tengah kesibukan hidup sehari-hari. Kesungguhan ini bukan hanya sekadar rutinitas belajar, tetapi sebuah panggilan hati yang membuat seseorang tidak pernah merasa puas dengan ilmu yang telah diperolehnya dan selalu mencari tambahan ilmu untuk memperkaya diri.


Semangat yang besar dalam menuntut ilmu akan membentuk karakter seorang pelajar menjadi rajin, disiplin, dan penuh dedikasi. Ia tidak akan membiarkan waktu terbuang sia-sia, melainkan akan memanfaatkannya sebaik mungkin untuk kegiatan yang bermanfaat. Seperti yang dicontohkan oleh Al-Hafizh Ibn 'Aqil rahimahullah, ulama besar yang terkenal dengan perkataannya,


إِنِّي لَا يَحِلُّ لِي أَنْ أُضَيِّعَ سَاعَةً مِّنْ عُمُرِي، حَتَّى إِذَا تَعَطَّلَ لِسَانِي عَنْ مُذَاكَرَةٍ وَمُنَاظَرَةٍ، وَبَصَرِي عَنْ مُطَاعَةٍ، أَعْمَلْتُ فِكْرِي فِي حَالَةِ رَاحَتِي وَأَنَا مُنْطَرِحٌ، فَلَا أَنْهَضُ إِلَّا وَقَدْ خَطَرَ لِي مَا أَسْتَطِّرُهُ


“Aku tidak boleh menyia-nyiakan satu jam pun dari umurku. Jika lisanku tidak sedang belajar atau berdiskusi, mataku tidak membaca, maka aku akan berpikir saat beristirahat. Hingga aku tidak bangkit kecuali telah terpikirkan sesuatu untuk aku tuliskan.” [5]


Perkataan ini menunjukkan betapa pentingnya menghargai waktu dan memanfaatkannya untuk terus belajar. Ibn 'Aqil bahkan menggunakan waktu istirahatnya untuk berpikir tentang ilmu yang bisa ia pelajari atau hal-hal yang dapat ia tuliskan. Dengan semangat yang seperti ini, seseorang tidak akan mudah tergoda untuk bermalas-malasan atau menunda-nunda pekerjaan, karena ia menyadari bahwa waktu adalah aset yang sangat berharga dan tidak akan pernah kembali.


Di samping semangat belajar, seorang penuntut ilmu yang sejati juga memiliki kebiasaan hidup sederhana dan efisien. Ia akan memilih makanan yang secukupnya dan menghindari berlebih-lebihan, sehingga tubuhnya tidak mudah lelah dan pikirannya tetap tajam. Pola hidup yang sederhana ini akan membuat tubuh dan pikiran selalu siap untuk belajar, dan ia pun mampu fokus pada apa yang penting tanpa terganggu oleh keinginan yang berlebihan. Mengurangi makan dan membatasi kesenangan fisik memang terdengar sederhana, tetapi hal ini sangat berpengaruh dalam menjaga semangat belajar tetap tinggi. Dengan cara ini, seorang pelajar bisa mengoptimalkan waktunya, menjaga kesehatannya, dan terus terjaga dari berbagai gangguan yang mungkin menghambat proses belajarnya.


Selain itu, semangat yang besar dalam menuntut ilmu juga meliputi kegemaran untuk mencari hikmah dan ilmu pengetahuan di setiap kesempatan. Mereka yang memiliki semangat belajar tinggi tidak hanya terpaku pada satu jenis ilmu atau satu sumber saja, tetapi selalu mencari mutiara-mutiara hikmah dari berbagai tempat. Mereka akan mengumpulkan informasi, nasihat, dan pengalaman dari berbagai ulama, buku, dan referensi, seolah-olah setiap informasi adalah harta yang berharga. Dengan begini, ilmu yang diperoleh menjadi semakin kaya dan beragam, karena diambil dari berbagai sumber yang berbeda. Semangat seperti ini membuat seseorang tidak hanya menjadi penghafal ilmu, tetapi juga mampu memahami dan menyikapi ilmu dengan lebih bijaksana.


Dalam konteks menghargai waktu, pelajar yang memiliki semangat besar akan berusaha untuk terus produktif dalam waktu-waktu luangnya. Mereka tidak akan menggunakan waktu kosong untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, tetapi justru mengisinya dengan kegiatan yang mendukung proses belajarnya. Dengan disiplin yang ketat dalam memanfaatkan waktu, seseorang dapat menyerap lebih banyak ilmu dalam waktu yang lebih singkat. Ia akan mengembangkan kebiasaan membaca, berdiskusi, atau menulis di waktu luangnya, sehingga tidak ada waktu yang terbuang sia-sia. Prinsip ini adalah cerminan dari sikap yang bertanggung jawab dalam menghargai waktu, karena ia tahu bahwa setiap detik yang berlalu adalah kesempatan untuk menambah ilmu dan kebijaksanaan.


Dalam menjalani semangat besar ini, seseorang perlu memahami bahwa belajar bukanlah sekadar aktivitas, tetapi adalah bagian dari ibadah dan dedikasi kepada Tuhan. Dengan niat yang tulus untuk mencari ilmu demi mendekatkan diri kepada Allah, semangat yang besar dalam belajar akan membuahkan hasil yang lebih bermakna. Ilmu yang diperoleh akan membawa keberkahan, karena diperoleh dengan niat yang benar dan dengan cara yang baik. Selain itu, kesungguhan dalam menuntut ilmu akan membentuk akhlak dan kepribadian yang mulia, karena ilmu yang diperoleh akan mencerminkan sikap rendah hati dan keinginan untuk terus berkembang. Inilah yang akan menjadikan seorang penuntut ilmu sebagai sosok yang berilmu dan berakhlak, yang siap memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain di sekitarnya.


Ketiga: Ketekunan adalah pilar ketiga dalam menuntut ilmu yang tidak boleh diabaikan oleh setiap pencari ilmu sejati. Ketekunan bukan hanya soal terus berusaha dalam waktu singkat, melainkan kegigihan yang terus-menerus meski dihadapkan pada berbagai kesulitan. Dalam menuntut ilmu, seseorang yang tekun akan rela mengorbankan waktu istirahatnya, bahkan mengorbankan kenyamanan hidupnya demi mengejar pemahaman yang mendalam dan kebenaran ilmu. Ketekunan ini pula yang menjadikan seorang pelajar tetap bersemangat, meskipun sering kali jalan menuju pemahaman yang hakiki tidaklah mudah. Dengan ketekunan, pelajar akan mampu melewati fase-fase sulit yang mungkin membuat orang lain menyerah. Sebagaimana dikatakan oleh para ulama terdahulu, kegigihan dalam belajar adalah langkah utama untuk meraih puncak ilmu.


Seorang yang tekun dalam menuntut ilmu tidak akan pernah merasa lelah atau bosan. Ketekunan membuat seseorang sanggup bertahan dalam perjalanan panjang ilmu pengetahuan yang membutuhkan waktu bertahun-tahun. Ia rela berjaga di malam hari untuk membaca, menghafal, atau menelaah buku-buku yang sulit, dan berjuang untuk memahami konsep-konsep kompleks. Ketekunan ini membuatnya tidak hanya sekadar menghafal, tetapi benar-benar memahami dan menggali ilmu hingga ke akarnya. Bahkan, tidak jarang seorang pelajar yang tekun melakukan perjalanan jauh untuk belajar dari para guru atau sumber ilmu yang sulit ditemui di tempat asalnya. Sikap ini menunjukkan dedikasi yang luar biasa, di mana ia tidak memilih kenyamanan atau istirahat, tetapi justru memilih menghadapi kesulitan demi mendapatkan ilmu yang berharga.


Ketika seseorang mendahulukan ilmu di atas istirahat, ia sebenarnya sedang berinvestasi dalam dirinya. Ketekunan yang kuat menjadikannya tetap berusaha menggali ilmu meskipun tubuh terasa lelah. Ia tahu bahwa ilmu tidak akan datang tanpa usaha yang sungguh-sungguh, dan bahwa belajar membutuhkan pengorbanan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an, "Khudhū mā ātainākum biquwwatin, Ambillah apa yang Kami berikan kepadamu dengan kekuatan" (QS. Al-Baqarah), yang menegaskan bahwa upaya yang keras dan tekad yang kuat adalah cara untuk meraih hasil terbaik dalam menuntut ilmu. Dalam konteks ini, ketekunan bukanlah sekadar kemampuan untuk terus belajar, melainkan sebuah komitmen penuh untuk mengambil ilmu dengan sungguh-sungguh dan menjalankannya sebagai amanah.


Contoh ketekunan luar biasa dalam sejarah adalah Imam Yahya bin Abi Katsir rahimahullah, yang mengatakan bahwa ilmu tidak akan bisa dicapai dengan tubuh yang beristirahat. Pernyataan ini menggambarkan bahwa ketekunan membutuhkan pengorbanan fisik, di mana seseorang rela mengorbankan kenyamanan tubuh demi mencapai tujuan ilmiah. Imam Yahya mengajarkan bahwa menuntut ilmu bukanlah pekerjaan yang bisa dilakukan sambil bermalas-malasan, tetapi membutuhkan energi, semangat, dan tekad yang kuat. Dengan ketekunan yang konsisten, seorang pelajar akan mampu mengatasi semua kesulitan dan tetap berfokus pada tujuan akhirnya, yaitu memperoleh ilmu yang bermanfaat dan mendalam.


Imam Al-Bukhari rahimahullah adalah contoh lain dari ketekunan luar biasa dalam menuntut ilmu. Disebutkan bahwa beliau pernah bangun sekitar dua puluh kali dalam satu malam hanya untuk mencatat atau menelaah ilmu yang terlintas dalam pikirannya. Ketekunan beliau menghasilkan salah satu karya monumental dalam sejarah Islam, yaitu Sahih Al-Bukhari, yang menjadi rujukan utama dalam hadis. Pengorbanan Imam Al-Bukhari menunjukkan bahwa keberhasilan dalam menuntut ilmu tidak mungkin dicapai tanpa kesungguhan yang terus-menerus dan dedikasi penuh. Karya-karyanya yang begitu bernilai merupakan hasil dari ketekunan dan pengorbanan, dan menjadi inspirasi bagi setiap penuntut ilmu agar tetap teguh meski menghadapi berbagai tantangan.


Bagi penuntut ilmu di zaman sekarang, ketekunan ini tetap relevan dan sangat diperlukan. Meskipun akses terhadap ilmu kini lebih mudah berkat teknologi dan internet, namun semangat untuk menggali ilmu secara mendalam tetap memerlukan ketekunan yang besar. Banyak informasi yang tersedia di dunia digital, tetapi hanya mereka yang tekunlah yang mampu memilah mana ilmu yang benar dan mana yang hanya informasi dangkal. Ketekunan akan membawa seseorang untuk terus mencari kebenaran dan menghindari pengetahuan yang tidak bermanfaat. Inilah yang membedakan seorang pelajar yang serius dari yang sekadar mencari pengetahuan tanpa tujuan. Melalui ketekunan, seorang pelajar akan membangun pemahaman yang kokoh dan mendalam, yang akan menjadi bekal yang tak ternilai harganya sepanjang hidupnya.


Dengan demikian, ketekunan dalam menuntut ilmu adalah fondasi yang sangat kuat yang memungkinkan seseorang mencapai kedalaman ilmu yang sejati. Ketekunan ini mencakup pengorbanan waktu, tenaga, dan kenyamanan demi mempelajari ilmu yang bermanfaat. Para ulama telah memberi teladan tentang bagaimana ketekunan adalah jalan untuk meraih ilmu yang hakiki. Melalui ketekunan, seorang pelajar akan mampu menempuh jalan ilmu dengan penuh keyakinan dan kesabaran, dan ia akan mendapati bahwa setiap pengorbanan yang dilakukannya akan membawa hasil yang sangat berharga.


Keempat: Bekal yang cukup untuk memenuhi kebutuhan, menghindarkan dari meminta-minta, mencegah dari hal-hal yang dapat mengalihkan perhatian, serta menjaga para penuntut ilmu dari kemiskinan, kekurangan, dan ketergantungan. Bekal yang cukup ini membantu mereka dalam mengumpulkan ilmu. Imam Ahmad rahimahullah dalam adab bagi seorang mufti menekankan pentingnya kemandirian dan tidak bergantung pada orang lain. Sufyan ats-Tsauri rahimahullah, pernah terlihat memegang beberapa dinar di tangannya, seperti yang diceritakan dalam Al-Hilyah dan kitab lainnya. Lalu seseorang datang kepadanya dan bertanya, "Wahai Abu Abdullah, engkau menyimpan dinar ini?"


Sufyan menjawab, "Diamlah, jika bukan karena dinar-dinar ini, para penguasa akan memperlakukan kami seperti kain lap di tangan mereka!" (yakni mereka akan memperlakukan kami dengan seenaknya).[6] Terkadang, para penuntut ilmu jatuh dalam kemiskinan karena tekanan hidup dan berbagai kesulitan, tetapi mereka bersabar dan bertawakal kepada Tuhan mereka. Bagi mereka, kemiskinan lebih aman dan lebih mendukung dalam menuntut ilmu dibandingkan dengan kekayaan dan kemewahan. Hingga ada yang berkata:


قُلتُ لِلْفَقْرِ أَيْنَ أَنْتَ مُقِيمٌ... قَالَ فِي عَمَائِمِ الْفُقَهَاءِ

إِنَّ بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ لِإِخَاءً... وَعَزِيزٌ عَلَيَّ قَطْعُ الإِخَاءِ


"Kutanya kepada kemiskinan, di mana engkau tinggal?... Kemiskinan menjawab: ‘Di sorban para ahli fiqh.’ Antara aku dan mereka ada ikatan persaudaraan… dan berat bagiku untuk memutuskan ikatan ini."[7]


Ibnu Qayyim berkata dalam kitab I’lam Al-Muwaqqi’in (4/204):


وَقَدْ كَانَ لِسُفْيَانَ شَيْءٌ مِّنْ مَالٍ، وَكَانَ لَا يَتَرَوَّى فِي بَذْلِهِ، وَيَقُولُ: لَوْلَا ذَٰلِكَ لَتَمَنَّدَلَ بِوَنَا هَؤُلَاءِ


“Dulu Sufyan memiliki harta yang mencukupi, dan ia tidak pernah ragu untuk menggunakannya. Ia berkata, ‘Jika bukan karena itu, para penguasa akan memperlakukan kami layaknya kain lap di tangan mereka.’” [8]


Maka, seorang alim yang memiliki kecukupan finansial akan lebih mudah dalam mengamalkan ilmunya. Namun, jika ia memerlukan bantuan orang lain, maka ilmunya akan hilang seiring dengan pandangannya sendiri. Hal ini dimaksudkan bahwa seorang alim yang kekurangan mungkin akan terpaksa bekerja dalam hal-hal duniawi yang bisa mengganggu fokusnya dari mengajar, menelaah, dan memberi manfaat kepada orang banyak.


Kelima: Persahabatan dengan guru yang berperan sebagai syekh ilmu, tokoh dalam bidang fikih, dan para ahli yang berpengalaman, karena mereka ibarat dokter dalam mendiagnosis masalah, sebagai penunjuk jalan, pemberi argumen yang meyakinkan, dan layaknya matahari yang menerangi. Dalam kisah Nabi Musa dengan Khidr, Musa berkata,


هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا


"Bolehkah aku mengikutimu su­paya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahfi).


Para guru inilah yang membantu pemahaman, menuntun di jalan yang benar, serta memudahkan segala kesulitan yang dihadapi.


Para ulama terdahulu memiliki pepatah bijak,


مَن دَخَلَ العِلْمَ وَحْدَهُ، خَرَجَ وَحْدَهُ


“Barang siapa menuntut ilmu sendirian, maka ia akan keluar sendirian pula.” [9]


Mereka mengingatkan agar tidak bergantung hanya pada buku-buku tanpa adanya bimbingan dari seorang guru, karena belajar hanya dari buku tanpa nasihat dan pemahaman yang mendalam dapat membuat seseorang keliru. Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata,


مَن تَفَقَّهَ مِن بُطُونِ الكُتُبِ، ضَيَّعَ الأَحْكَامَ


“Barang siapa yang belajar fikih hanya dari buku-buku, maka ia akan menyia-nyiakan hukum-hukum.” [10]


Dikatakan pula,


مَن كَانَ شَيْخُهُ كِتَابَهُ، كَانَ خَطَؤُهُ أَكْثَرَ مِن صَوَابِهِ


“Barang siapa yang gurunya adalah bukunya, maka kesalahannya lebih banyak daripada kebenarannya.”[11]


Keenam: Waktu yang panjang, yaitu pengalaman dan praktik yang berkelanjutan.


Hal ini mencakup latihan ilmiah dalam memahami pelajaran, menyampaikan materi, berdiskusi, menyusun karya panjang, berdebat, menggali hukum-hukum, menulis buku, dan menyusun tulisan. Dengan berjalannya waktu, semua ini akan membawa seseorang pada kedewasaan dan hikmah, serta menghindarkannya dari sikap terlalu bersemangat atau tergesa-gesa. Allah Ta’ala berfirman,


وَكَانَ الإِنسَانُ عَجُولًا


“Dan manusia diciptakan (bersifat) tergesa-gesa” (QS. Al-Isra’).


Rasulullah SAW juga bersabda kepada Al-Asyaj ‘Abd al-Qais,


إِنَّ فِيكَ لِخَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّـهُ: الحِلْمُ وَالْأَنَاةُ


“Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua sifat yang dicintai oleh Allah: kesabaran dan ketenangan.”[12]


Pilihan seseorang di awal kehidupannya sering kali berbeda dengan pilihannya setelah mencapai usia dewasa dan memiliki kedalaman pemahaman. Bahkan dalam urusan duniawi, perubahan ini terlihat, maka bagaimana mungkin dalam ilmu agama yang mendekatkan seseorang kepada Allah Ta’ala? Jika seseorang memiliki keinginan untuk tampil dan mengundang kekaguman sebelum benar-benar menguasai ilmu dan mencapai kematangan, hal ini hanya akan menjadi kegagalan bagi dirinya sendiri. Sahnun bin Sa’id al-Maliki rahimahullah berkata,


أَجْسَرُ الناس على الْفُتْيَا أقلّهم علما، يكون عِنْدَ الرجل الْبَابُ الواحد مِنْ الْعِلْمِ، يظن أَنَّ الحق كله فيه


Orang yang paling berani memberi fatwa adalah yang paling sedikit ilmunya. Sering kali seseorang yang hanya memahami satu bab ilmu mengira bahwa seluruh kebenaran ada di dalamnya.”[13]


Betapa banyak ulama dan pelajar yang akhirnya meralat atau mengubah isi buku, fatwa, pilihan, atau sikap-sikap mereka akibat perubahan usia atau tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu di awal perjalanan ilmiah mereka. Ketika mereka mencapai kedewasaan, meraih pemahaman yang lebih mendalam, dan mengalami kematangan intelektual, banyak dari mereka yang merasa perlu melakukan koreksi, bahkan terkadang merasa menyesal. Termasuk di antara mereka adalah para ulama terkemuka yang menyesal karena tergesa-gesa atau kurangnya ketelitian akibat keterbatasan waktu dan kesibukan. Jika para ulama di masa lalu saja merasakan hal ini, bagaimana halnya dengan para pelajar di zaman kita sekarang?


Contoh dari hal ini adalah kritikan Al-‘Allamah Adz-Dzahabi terhadap Al-Hakim dalam ringkasannya atas kitab Al-Mustadrak, yang terkenal di kalangan pelajar. Meski ia memuji kitab tersebut dan membaginya menjadi bagian-bagian tertentu, Adz-Dzahabi kemudian berkata dalam biografi Al-Hakim di Siyar A’lam An-Nubala,


وَبِكُلِّ حَالٍ فَهُوَ كِتَابٌ مُفِيدٌ قَدِ اخْتَصَرْتُهُ، وَيَعُوزُ عَمَلًا وَتَحْرِيرًا


“Bagaimanapun, ini adalah kitab yang bermanfaat, tetapi saya telah meringkasnya, dan kitab ini masih membutuhkan usaha dan ketelitian yang lebih.”[14]


Al-Hafizh Ibnu Hajar, meskipun telah menulis banyak kitab, menyatakan di akhir hidupnya sebagaimana diriwayatkan oleh muridnya As-Sakhawi rahimahullah, “Aku tidak puas dengan satu pun dari karya tulisku, karena aku menulisnya di awal perjalanan ilmiahku dan tidak ada seorang pun yang dapat membantu menelaahnya bersamaku, kecuali: Syarh Al-Bukhari, pengantarnya, Al-Musytabah, At-Tahdzib, dan Lisan Al-Mizan. Adapun karya-karya lainnya, jumlahnya banyak tetapi nilainya lemah, dayanya kurang, dan pembahasannya kurang memadai.”


Kedua contoh ini menunjukkan betapa pentingnya waktu yang panjang dan pengalaman yang cukup dalam perjalanan mencari ilmu. Dengan waktu dan pengalaman, seseorang akan lebih terlindungi dari banyaknya kesalahan, keraguan, dan kritikan. Ada pepatah yang mengatakan, “Barang siapa yang tergesa-gesa meraih sesuatu sebelum waktunya, maka ia hanya akan menghadapi kehinaan.” Hal ini berlaku juga pada fatwa yang terburu-buru, sikap yang terlalu bersemangat, dan tindakan impulsif yang biasa terjadi pada pemuda, termasuk karya yang diterbitkan tanpa penelaahan mendalam. Meskipun mereka mungkin mengklaim hal-hal tertentu, tetapi sering kali tampak kelemahan dalam dalil, kurangnya pengalaman, atau ketergesaan seperti pengumpulan kayu di malam hari. Sebab ilmu itu mulia dan berharga, dan hanya dapat disampaikan dengan baik oleh mereka yang telah sempurna dan berpengalaman. Allah Ta’ala berfirman,


فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ


“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl: 43).


Orang yang disebut sebagai “ahl al-dzikr” adalah mereka yang telah mencapai kesempurnaan ilmu dan pemahaman, yang memiliki wawasan dan pemahaman yang mendalam. Salah satu manfaat dari waktu yang panjang dalam menuntut ilmu adalah tercapainya malakah (keterampilan) dalam ilmu pengetahuan, yang berarti pemahaman yang mendalam dan penguasaan yang kokoh terhadap suatu bidang dengan tingkat keahlian yang tinggi.


Semoga Allah memberikan pahala yang berlimpah kepada Imam Syafi’i rahimahullah atas nasihatnya yang bijak dalam memberikan arahan, menunjukkan jalan, dan menjadi petunjuk. Tetapi, siapakah yang mampu mengambil pelajaran dan segera bertindak tanpa ragu atau bimbang? Hanya Allahlah yang memberi taufik.



[1] Risalah ila al-Mudarrisīn wal-Mudarrisāt 1/34 — Abū Bakr Aḥmad al-Sayyid (Mu'āsir).

[2] Sharh Riyāḍ al-Ṣāliḥīn li-Ibn ʿUthaymīn 1/195 — Ibn ʿUthaymīn (W. 1421)

[3] Tariq al-Hijratayn wa Bāb al-Saʿādatayn - Terbitan ʿAṭāʾāt al-ʿIlm 1/316 — Ibn al-Qayyim (W. 751)

[4] Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, Terbitan al-Turki 15/748 — Ibn Kathīr (W. 774).

[5] Qīmat al-Zaman ʿInda al-ʿUlāmā’ 1/53 — ʿAbd al-Fattāḥ Abū Ghudda (W. 1417).

[6] Hilyatu al-Awliya' wa Tabaqat al-Asfiyā' - Ṭa as-Sa'adah 6/381 — Abū Nu'aym al-Aṣbahānī (W. 430).

[7] A'lu al-Himmah 1/159 — Muhammad Isma'il al-Muqaddim (Mu'āsir).

[8] I'lam al-Muwaqqi'in 'an Rabb al-'Alamin - Ṭa Mashhur 6/113 — Ibn al-Qayyim (W. 751).

[9] Madkhal ila Ulum al-Shari'ah 1/52 — Abdul Rahman bin Abdul Aziz al-'Aql (Mu'asir).

[10] Al-I'lam bi-Hurmati Ahl al-‘Ilm wa al-Islam 1/335 — Muhammad Ismail al-Muqaddim (Mu'asir).

[11] Durus al-Shaykh 'A'idh al-Qarni 233/24 — 'A'idh al-Qarni (Mu'asir).

[12] Sha'b al-Iman - Zaghloul 6/335 — Abu Bakr al-Bayhaqi (W. 458).

[13] Al-Bayan fi Madakhil al-Shaytan 1/86 — Abdul Hamid al-Bilali (Mu'asir).

[14] Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyyah Nash'atuhu wa Tatawwuruhu min al-Qarn al-Awwal ila Nihayat al-Qarn al-Tasi' al-Hijri 1/163 — Muhammad bin Matar al-Zahrani (W. 1427).

© Copyright 2022 - Berinteraksi dalam Keberagaman