Oleh Thoriq Aziz (Pemred Media Perantara Nasional)
Thoriq Aziz. |
Demokrasi yang berada di negara Indonesia yang kita
cintai bersama ini, sejak reformasi 1998 telah mengalami perkembangan yang cukup
pesat. Indonesia dinilai sebagai negara
demokratis terbesar di Asia Tenggara. Hal ini ditandai dengan adanya Pemilu
atau Pemilihan Umum yang diselenggarakan secara langsung, bebas, dan adil serta
tumbuhnya civil liberties (kebebasan sipil) dan hak asasi manusia yang dijamin
oleh negara.
Namun sesungguhnya demokrasi yang berjalan di
Indonesia tidak serta-merta berlangsung mulus tanpa hambatan, demokrasi kita
pada kenyataannya berhadapan dengan berbagai macam tantangan. Di antara
tantangan yang paling berat adalah korupsi yang makin hari dirasa makin marak
terjadi di mana-mana, bahkan di setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara.
Praktik korupsi yang berjalan tersebut mau tidak mau telah menghambat proses
pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Selain masalah korupsi, kita juga melihat
bahwa penegakan hukum di Indonesia saat ini masih tebang pilih dan belum bisa
optimal sehingga ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia menjadi PR bersar
untuk bangsa Indonesia ke depan.
Mendekati masa Pemilu, para petinggi dan elit politik
serta tokoh-tokoh bangsa, bahkan masyarakat kecil dihadapkan pada kondisi yang
terpolar. Bahkan saya melihat polarisasi politik yang makin tajam itu juga
menghambat kerjasama dan pembangunan nasional kita, dikarenakan faktor
perbedaan ideologi, kepentingan pribadi elit politik dan mungkin bandit-bandit
luar negeri yang secara tidak langsung ingin Indonesia tidak berkembang dan
maju.
Mengutip argumentasi A. Dahl dalam On Democracy,
bahwa salah satu alasan utama mengapa kita menjadikan demokrasi sebagai sistem
politik negara adalah karena demokrasi itu dianggap dapat mendorong kesejahteraan
rakyat. Negara dengan pemerintahan yang demokratis cenderung akan lebih makmur
ketimbang negara yang tidak demokratis.
Sebagai seorang pemikir yang sederhana, penulis pikir
argumentasi dari Dahl itu harus diuji dengan tanda tanya dan perdebatan ilmiah
dalam konteks Indonesia. Artinya apakah demokrasi itu telah membawa Indonesia
pada taraf kesejahteraan yang diinginkan setelah sekian lama negara kita ini
menganut sistem demokrasi? Apakah jurang kesenjangan atau gap sosial-ekonomi
antar anak-anak bangsa semakin kecil atau justru makin besar? Dan untuk
menjawab itu semua, kita mesti melihat potret dan ekosistem politik yang
terjadi di Indonesia dewasa ini.
Doyan
Politik, Emoh Ekonomi
Pasca reformasi, Indonesia tenggelam dalam euforia
demokrasi politik. Para elit dan pemangku kebijakan lebih doyan bicara politik
dan emoh terhadap ekonomi masyarakat. Dalam kebijakan publik dan perjuangan
masyarakat sipil, kebebasan dan hak-hak sipil menjadi diskursus yang paling
dominan. Fenomena ini tentu sangat wajar sekali sebagai konsekuensi masa lalu
Indonesia, karena di zaman Orde Baru Indonesia berada dalam atmosfer
otoritarianisme. Tak jarang kita juga melihat atas nama pembangunan serta kemajuan
demokrasi dan lain-lain, kebebasan diinjak-injak dan hak-hak sipil dilanggar.
Dalam sebuah euforia atau perasaan gembira yang
berlebihan, pasti menyisakan celah-celah yang terabaikan. Demokrasi
politik telah menjadi menu makanan yang semua elit bangsa doyan, namun ada juga
menu makanan yang diemohi oleh para elit bangsa ini. Orang semangat berbicara
tentang demokrasi politik, namun demokrasi ekonomi yang juga merupakan sektor
penting telah terabaikan. Dewasa ini, kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi
masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi bangsa Indonesia.
Pada bulan September 2022 lalu, Badan Pusat Statistik
(BPS) mencatat bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,36 juta
orang, atau sekitar 9,57 persen dari keseluruhan populasi. Pada masa pandemi
Covid-19, persentase penduduk miskin bahkan sempat mencapai dua digit, yakni
sebesar 10,19% pada bulan September 2020 dan 10,14% pada bulan Maret 2021. Dalam
kurun waktu yang tidak lama, angka kemiskinan meningkat. Tentu hal ini menjadi
pertanda bahwa kondisi ekonomi masyarakat kita, masyarakat Indonesia, sangatlah
rentan, wabil khusus saat menghadapi badai-badai ekonomi yang menerjang.
Persoalan ketimpangan sosial-ekonomi juga masih menjadi
PR kita bersama. Menurut laporan World
Inequality Report 2022, sejumlah kecil individu ultrakaya dan kelompok
orang kaya di Indonesia memiliki penguasaan yang signifikan atas kekayaan
nasional. Sekitar 1% dari populasi penduduk Indonesia yang tergolong sebagai
orang ultrakaya mengontrol sebanyak 29,4% dari total kekayaan, sementara
kelompok orang kaya atau masyarakat kelas atas yang mencakup sekitar 10% dari
populasi menguasai 60,2% kekayaan nasional. Di sisi lain, 40% masyarakat kelas
menengah memiliki kendali atas 34,3% kekayaan, dan 50% masyarakat kelas terbawah
memiliki bagian sebesar 5,5% dari seluruh kekayaan nasional. Hal ini tentu
sangat miris sekali dirasakan oleh anak-anak bangsa yang masih tajam nuraninya.
Dari uraian angka-angka data di atas menggambarkan
akumulasi kapital yang terpusat pada sebagian kecil masyarakat. Semisal, selama
3 tahun terakhir, kita menyaksikan dengan mata telanjang, tentang dampak Covid-19
di Indonesia yang sesungguhnya telah mengungkapkan kepada kita soal sentralisasi
akumulasi kapital tersebut. Dikala rakyat kesulitan dan makin miskin serta
ekonominya menciut selama pandemi, justru terjadi peningkatan eksponensial
dalam jumlah orang kaya dan Ultra kaya di Indonesia.
Lembaga keuangan Credit Suisse telah
melaporkan bahwa terjadi peningkatan yang signifikan pada tahun 2020,
jumlah orang kaya dengan nilai kekayaan 1 juta dolar AS atau lebih meningkat
61,69% dibandingkan dengan tahun 2019, menjadi sejumlah 171.740 orang.
Sementara itu, terdapat peningkatan sebanyak 22,29% dalam jumlah individu
ultrakaya pada tahun 2020 yang memiliki kekayaan senilai 100 juta dolar AS,
mencapai total 417 orang dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu tahun
2019.
Semoga kondisi masyarakat kita yang masih rentan dan
kesenjangan sosial ekonomi yang makin hari makin lebar tersebut menjadi
pengingat kita agar kita tidak emoh untuk bicara dan memperjuangkan demokrasi
ekonomi dan tidak hanyut dalam euforia demokrasi politik. Penting bagi
kita untuk menempatkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi pada posisi
keseimbangan yang setara. Keseimbangan antara keduanya menjadi krusial karena
pencapaian kesejahteraan tidak hanya tergantung pada upaya ekonomi semata, melainkan
juga dipengaruhi oleh konteks politik.
Kita harus ingat dalam sebuah karya yang berjudul “Demokrasi
Kita,” Muhammad Hatta telah mengutarakan dengan relatif gamblang bahwa di
samping adanya demokrasi politik, demokrasi ekonomi juga harus diberlakukan. Hal
itu, kata Bung Hatta, demokrasi politik saja hakikatnya tidak akan mampu
mencapai kesetaraan dan bersaudara. Lebih-lebih, di zaman demokrasi elektoral
yang berbiaya tinggi seperti saat ini, ditambah praktik politik uang yang makin
marak terjadi di mana-mana, artinya semua pergerakan anak bangsa itu didorong
oleh tenaga uang dan permodalan, maka demokrasi kita menjadi sebuah sistem yang
amat sangat mahal. Dalam konteks politik yang semacam itu, yang ada adalah
persaingan yang tidak sehat antar individu, sebab pemain politik atau tokoh
yang memiliki kompetensi politik yang lebih akan secara otomatis terpinggirkan dan
kalah oleh kekuatan modal finansial.
Tak hanya itu kesenjangan ekonomi juga berdampak pada
kesenjangan terhadap pendidikan dan kesehatan yang berkualitas serta akses
mencapai pekerjaan yang mapan. Dan akhirnya siklus setan pun terjadi dan tidak
kunjung selesai. Hasil temuan pada tahun 2019 oleh SMERU Research Institute,
mengungkapkan eksistensi siklus setan tersebut. Pada akhirnya, anak-anak
bangsa dari keluarga miskin memiliki pendapatan sekitar 87% lebih rendah
dibandingkan dengan anak-anak bangsa yang berasal dari keluarga yang lebih
makmur dan sejahtera ketika mereka sudah menginjak usia dewasa.
Mendesak
Agenda Kesejahteraan
Oleh karena itu, menjadi agenda demokrasi kita saat
ini yang mendesak adalah agenda kesejahteraan. Menjadi tanggung jawab
para pemimpin negara, para elit politik untuk memastikan bahwa agenda
kesejahteraan itu terintegrasi dalam setiap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Demokrasi ekonomi harus diwujudkan dengan cara mendistribusikan kesejahteraan
itu secara adil dan merata.
Pemilu
yang akan datang, Rabu 14 Februari 2024, untuk memilih Presiden, Wakil
Presiden, anggota DPR, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan
anggota DPD, akan menjadi sebuah ujian yang amat sangat penting bagi para
tokoh-tokoh bangsa, pemimpin negeri, dalam mendorong agenda kesejahteraan ini. Andaikata
agenda kesejahteraan itu tidak menjadi bagian integral dari agenda demokrasi,
maka bisa jadi pencapaian Indonesia emas pada tahun 20 45 sulit terwujud.
Social Header